Laman

Sabtu, 28 Februari 2015

ADIPARWA BAB III

  1. Ayodhyawisaya sramyah, Dhomya brahmanasamsthitah. Seorang Brahmana bernama Dhomya, berpertapaan di negara Ayodhya. Muridnya berjumlah tiga orang, namanya sang Utamanyu. Sang Arunika dan sang Weda. Semua di uji akan ketahanan dan baktinya kepada guru, Arunika disuruhnya ke bersawah, sebelum di anugerahi ilmu Dharma. Sang Arunika dengan hati-hati mengerjakan sawah yang diserahkan kepadanya dengan segala macam cara.
  2. Ketika biji yang ditanam sedang tumbuh dengan baiknya, hujanpun turun dengan lebatnya, berantakanlah pematang sawahnya. Karena khawtir kalau padinya tergenag air. Di tahannyalah air itu, tidak lama kemudian pematang jebol, di tahan lagi (putus lagi, di tahan lagi begitu berulang kali). Sang Arunika tiada berdaya lagi, akhirnya badannya digunakan untuk membendung air, direbahkan diriya tidak bergerak dari tempatnya itu siang dan malam. Terlihatlah oleh sang guru akan keadaan itu, seru Dhomya kepadanya, ia di suruh bangun :
  3. "Yasmat kedharakande twam, dharanenasi samstitah, tasmad undharako bhutwa. udhalakas twam arunih". "Anakku sang Arunika, sangat tahan engkau, bangkitlah anakku. Namamu sekarang sang Uddalaka, karena melentangkan badanmu dalam air sebagai tanda baktimu kepada guru". Sreyo wapsyasiyo siddhirastu, bahagialah yang akan engkau dapat dan terlaksana segala perkataan dan kehendakmu.
  4. Demikian ujian begawan Dhomya kepada sang Arunika, yang di uji berikutnya adalah Utamanyu, disuruhnya ia mengembala lembu. Sangat hati-hati ia mengembalanya. Selama itu sang Utamanyu menderita lapar, ia meminta-minta, hasilnya meminta-minta tidak di serahkan kepada guru (dimakan sendiri). Berkatalah guru kepadanya: "Anakku sang Utamanyu! Tingkah laku murid yang berbakti kepada guru, menyerahkan segala yang di peroleh karena meminta-minta, itulah caranya: Swayam asramaya makopajiwana: " Segala yang engkau peroleh dari meminta-minta tak patut menjadi makananmu!"
  5. Demikianlah kata guru, sang Utamanyu menghormat, minta maaf atas perbuatannya yang salah. Keesokan harinya ia mengembala lagi, diselingi dengan meminta-minta. Akan tetapi segala yang diperolehnyadi serahkan kepada guru. Sesudah itu meminta-minta lagi untuk penghidupanya mengembala lembu. Terlihatlah (oleh guru) ia meminta-minta lagi yang kedua kalinya, lalu dilarang oleh gurunya, karena yang demikian itu di anggap lobha, sejak saat itu tidak meminta-minta lagi ke dua untuk penghidupannya, menurut (akan) perintah guru. Karenanya ia minum air susu sisa anak sapi menusu induknya. Ketika ditanya oleh guru mengatakan bahwa yang diminum adalah sisa anak lembu. Kata guru kepannya:
  6. "Aduh, makin tak pantas perbuatanmu itu, karena mengambil kepunyaan guru sebagai milikmu, tidak sepantasnya seorang murid mengambil kepunyaan gurunya". Demikianlah kata guru. ia sekarang tidak lagi minum susu. Kalau ada buih yang keluar dari mulut anak lembu ketika menusu induknya, itulah yang di jilatnya, menjadi makan selama mengembala. Waktu ia di tanya lagi oleh guru, apakah yang menjadi makanannya, menjawablah ia, bahwa menjilati buih yang jatuh di tanah ketika anak lembu menusu induknya.
  7. Berkatalah sang Guru: "Hai anakku Utamanyu. Tidak sepatutnya itu menjadi makananmu. Anaklembu itu tahu, mengerti akan laparmu, karena belas kasihannya, ia memuntahkan air susu yang telah diminumnya. Sungguhpun itu berupa buih tidak selayaknya engkau mengambil makanan anak lembu. Pendek kata, (kau) turut menikmati makanan orang lain, yang tidak patut menjadi penghidupan, janganlah engkau makan, karena kalau demikian anak lembu itu akan lekas jadi kurus".
  8. Demikian kata guru, sang Uttamanyu menyembahnya. Pada pagi harinya ia pergi mengembala lagi, tidak makan apapun juga. Karena laparnya ia menghisap daun widuri. Getah tadi rasanya agak anas karenannya, tembuslah kematanya andhibhuta, menyebabkan buta matanya, tidak tahu mata angin lagi, ribut ia mencari lembu yang digembalakannya. Ada sebuah sumur mati, terjerumuslah ia kedalamnya, karena tiada tahu jalan yang ditermpuhnya. Petang hari lembu pulang ke kandangnya, dengan tiada penggiring. Ia sendiri tidak pulang. hal itu diketahui oleh guru: ributlah ia mencari muridnya.
  9. Sampai pada keesokan harinya, dicari oleh gurunya, kedapatan didalam sumur mati. Ditanyalah ia akan sebebnya ia terjatuh ke dalam sumur itu. Sang Utamanyu mengatkan, bahwa ia buta minum getah daun widuri karena laparnya, sebab dilarang oeh guru menjilati buih anak sapi. Karena belas kasihan Begawan Dhomya, sang Utamanyu di anugerahi mantra, mantra (obat) dewa Aswino supaya di ucapkan olehnya, dengan maksud menghilangkan buta yang dideritanya, karena sang Hyang Aswino itu dewabhisak, dokter para dewa yang menderita sakit. Itulah yang menyebabkan ketentraman, sembuhlah sakit orang yang berbakti kepadanya. Demikianlah karena itu Utamanyu di anuerahi mantra dewa Aswino dapat di percaya memberikan tuahnya, tumihangin (nama makanan) dipakai sebagai penolak buta, supaya dimakan sebagai obat penyakitnya biar sembuh kembali. Terus dimakan olehnya.
  10. Caksur arogyam bhawati, biji matanya sempurna kembali, matanya kemudian tidak bercacat sedikitpun. Senanglah bengawan Dhomya melihat Utamanyu,  siddhi sastranugrahomi (Ohamkaromi).  ia selalu menghadiahi ilmu ang sempurna "lagi pula anakku tidak akan mengalami tua". Demikianlah kata Begawan Dhomya menganugerahinya.
  11. Kemudian sang Weda di ujinya. Ia di suruh tinggal di dapur menyediakan hidangan, serba baiklah persembahan sang Weda kepada sang guru, ia selalu mengikuti jejak gurunya, meski yang buruk-buruk sekalipun, segala perintah gurunya di kerjakan denagn baik. Karenanya ia di anugerahi segala macam ilmupengetahuan, mantra weda dan kecerdasan, dan juga mantra yang sempurna. Sehabis sang weda menerima anugerah itu, ia pulang ke pertapaanya. Tahulah sekarang akan jerih payah orang yang mengabdi, berkatalah dam hatinya: "Klau kelak saya mempunyai murid, mantra ini hanya akan saya berikanbegitu saja tanpa minta upah ataupun ujian kesetiaannya".
  12. Demikianlah angan-angannya. Tiada lama kemudian, datanglah murid barunya bernama sang Uttangka. Ia terus diberi ilmu weda tanpa upah, segala ilmu telah di pelajari oleh Uttangka. Kasyacittw atha Kalasya, pada saat ia mempunyai murid sang Uttangka itu, sang Weda di minta oleh Maharaja Janamejaya supaya ikut di dalam kurban bersamaan dengan permintaan Maharaja Posya, raja negeri Ayodhya. Berangkatlah ia, sang Uttangka disuruh menunggu pertapaan dan menjaga istri guru. Sang Uttangkapun menyanggupinya, ia denag setia siang dan malam menjaga pertapaan.
  13. Hingga suatu saat, kebetulan istri guru kedatangan waktu yang baik, sang Uttangka dimintanya melakukan korban kelahiran "supaya saat yang baik itu tidak sia-sia" katanya, sang Uttangka tidak mau, ia taat kepada perintah guru dalam menjaga asrama. Karena itu menimbulkan kemarahan istri guru. Begawan Weda pulang, terlihat pertapaannya indah, dan juga subur, semaraknya bunga-bungaan karena pemeliharaan sang Uttangka atas perintahnya. Senanglah ia, sang Uttangka di anugrahikesempurnaan atas mantranya, ia lalu disuruh pulang untuk menyediakan tempat bagi para tamu di asrama, demikianlah maksudnya ia (Uttangka) minta supaya diminta upah oleh guru.
  14. Karena sangat memaksanya sang Uttangka untuk membalas budi terhadap guru, Begawan Weda menjadi marah, karena itu (sebagai gantinya) supaya minta kepada istrinya: "Segala yang di kehendaki oleh istriku, itulah pekerjaan yang harus kau kerjakan". Demikianlah perintah sang Begawan. Sang Uttangka lalu menemui dan mengatakan kepada istri guru: "Upadhyayenanujnatah, hamba di perintah guru untuk menghaturkan upah, apa yang tuanku putri kehendaki, akan hamba kerjakan".
  15. Demikian kata sang Uttangka. Jawab istri guru: "Baiklah kalau demikian" Teingatlah ia akan kekecewaan karena perintahnya di tolak, ketika Uttangka diminta supaya melangsungkan korban kelahiran dahulu. Pantaslah kiranya kalau minta kebenaran katany: "Anakku Uttangka ada seorang raja bernama Maharaja Posya, raja negeri Ayodhya. Seorang Permaisurinya bernama sang Sawitri, berhiaskan anting matahari, permata utama dari segala macam jenis permata lainnya. Anting-anting itulah yang saya kehendaki, karena di buat dari permata suci. Jangka waktumu (kembali) sampai tempat ini empat hari empat malam. Itulah keinginanku yang harus kau laksanakan, jika engkau (memang) berbakti kepada guru".
  16. Begitulah kata sang Istri guru. Sang Uttangka sedih membayangkan kesulitan unuk memperoleh anting-anting itu, lagi pula harus sampai di Ayodhya selama empat hari, padahal tempatnya sangat jauh. Meskipun demikian tiada terhalanglah bhaktinya terhadap guru, karennya ia berangkat mencari anting-anting itu. Dalam perjalanannya ia berjumpa dengan orang penunggang lembu, tegur orang itu: Hai Uttangka! Kalau engkau ingin sampai di Ayodhya denagn segera Mutrapurisam bhaksayaswa, makanlah kotoran lembuku, minumlah air kencingnya . Engkau pasti akan sampai di negeri Ayodhya segera karenannya.
  17. Demikian tegur orang menunggang Lembu kepanya. kotoran lembu lalu dimakan, air kencingnya diminum. Laghuh deho atah, ringanlah sekarang badannya. Sampailah ia dinegeri Ayodhya. Ia terus masuk istana raja Posya, menghormat kepada Maharaja yang menjaga anting-anting itu. Maharaja Posya-pun sangatlah hormatnya, mempersilahkan masuk ketempat permaisuri utuk meminta anting-anting kepada sang Sawitri. Masuklah ia, tetapi tidaklah terlihat sang Saitri olehnya, karena ia memakan kotoran lembu.
  18. Padahal sang Sawitri adalah seorang putri yang bhakti kepada suami, tidak nampak oleh orang yang tidak suci. Kembalilah sang Uttangka menghadap raja Posya, emngatakan bahwa sang Sawitritiak ada. Disuruhnyaah ia membersihkan diri (berkumur) dahulu sebelum masuk lagi. Membersihkan dirilah ia. Sesudah berkumur ia masuk kembali. Sekarang terlihat olehnya sang Sawitri mengenakan anting-anting, yang akan digunakan sebagai balas budi guru. Berkatalah sang Uttangkaminta anting-anting itu, Jawab sang Sawitri: "Baiklah, anting-anting ini sangat berharga, karena di buat dari bahan intan terbaik diantara segala macam intan. Dulu seekor naa Tatsaka pernah mengharap akan sinar anting-anting ini. Karenannya janganlah tuanku kurang hati-hati terhadapnya"
  19. Denikianlah pesan Sang Sawitri kepadanya. Anting-anting lalu diberikan, sang Uttangka pun giranglah. Ia lalu pergi ketempat Maharaja Posya untuka minta diri, tetapi tidak di perkenankan karena akan di jamu makan terlebih dahulu. Waktu jamuan dihidangkan terlihatlah olehnya nasi dingin tidak pantas dimakan oleh seorang Brahmana, katanya: "Yadsmad asusyannam dadasi, sangat tidak sopan Maharaja Posya, karena menghidangkan makanan yang tidak suci, butalah engkau karenanya!"
  20. Demikianlah kata sang Uttangka, menjawablah Maharaja Posya, bahwa jamuan itu memang tidak suci, karena sangat tergesannya saat menanak nasi, disebabkan oleh permintaan sang Uttangka untuk pulang dengan segera. Membalaslah ia dengan kutuknya: "Yasmad annam dusayasi, tasmad anapatyo bhawisyasi. nasi jamuanku kepadamu kau anggap tidak suci, tidak benarlah katamu, kelak kamu tidak akan mempunyai keturunan!"
  21. Demikianlah kutuk Maharasa Posya kepada sang Uttangka, setelah itu ia (Posya) minta ampun. Jawab sang Uttangka : "Tidak sepantasnya saya mengurungkan kutuk, butalah engkau, nacirat sapatham mama, engkau menderita buta tidak lama, karena kutukku kepadamu sama halnya dengan kutukmu kepadaku. Demikianlah kata sang Uttangka. Maharaja Posya menyahut: Brahmanasya waci ksuro nisitas tiksnawaksarah, seorang brahmana seperti engkau ini mesti "idu geni" bagai senjata tajam mulutmu, sungguh hatimu tidak bercacat, seperti samudra keadaanya, karena seorang Brahmana seperti engkau ini mendapatkan anugerah yang sepadan. Wiparita ksatria. Bagi kesatria yang bingung, hanya di mulut saja yang tiaa bercela, tetapi hatinya tajam. Kalau menghendakinya. Karenanya, marahku kepadamu sekarang ini seperti marahmu kepadaku.
  22. Na sahto ham sapam anyatha kartum, itulah sebebnya saya tak dapat menghilangkan kutuk saya kepadamu. Demikianlah kata Maharaja Posya. Sang Uttangka pergi dengan membawa anting-anting, ketika sedang ada di tengah jalan, kutuk atas dirinya tadi berkejadian api, seorang yang ditinggalkan hawa nafsu (pendeta) rupanya. Di tambah dengan panas matahari, sehingga kepanasanlah sang Uttangka karenanya. Ada sebuah mata air di tepi jalan. Di sanalah asng Uttangka mandi, anting-antingnya diletakkan di tanah.
  23. Terlihatlah oleh Tatsaka akan anting-anting itu, mendekatlah ia akan mengambilnya. Hal itu tampak oleh sang Uttangka, maka di usirlah naga Tatsaka olehnya. Tetapi anting-anting sudah didapat dan kembali ia menjadi naga. Saat itu bumi terbelah, ia masuk didalamnya. Naga Tatsaka dihormatnya, anting-anting di minta kembali, karena akan dipakai sebagi upah guru. Naga Tatsaka tidak memberikan, bahkan pergi menyembunyikan anting-anting permata tadi Di carinya oeleh sang Uttangka. Tampaklah olehnya dua orang putri yang sedang menenun, benang yanng ditenunnya berwarna hitam dan putih. Terlihatpula enam orang anak yang memutar jantra dwadasa arah yang berjari-jari dua belas buah. Lalu terlihatlah olehnya seorang menuntun kuda, dihormatnyalah ia ditanya akan kepergian naga Tatsaka.
  24. Berkatalah orang yang menuntun kuda tadi, katanya. "Hai sang Uttangka. Kalau engkau menginginkan anting-anting yang kau cari itu terdapat, inilah kudaku, tiuplah pantatnya, supaya keluar asap dari mukanya, hembuskanlah ketempat naga Tatsaka masuk, tentunya ia takut dan menyerahkan anting-anting itu kembali kepadamu!" Demikianlah kata orang yang menuntun kuda sang Uttangka-pun menurutlah. Di tiupnya pantat kuda itu, keluar api dari segala inderanya dengan terus menerus memenuhi tempat naga. Naga Tatsakapun kebingungan, lalu datanglah memberikan anting-anting itu, disambutnya. Iangatlah ia (Uttangka) akan waktunya, tidak dapat diserahkan anting-anting itu pada waktu yang ditentukan.
  25.  "Kini sudah tidak suci lagi bagi sang istri guru, tidak berguna lagi anting-anting yang kuperoleh, karena melebihi batas waktu". Demikianlah katanya sambil menagis. Berkatalah orang yang menuntun kuda tadi, katanya: "Hai sang Uttangka! Janganlah engaku kuatir. Naiklah kudaku, engkau akan sampai dengan segera mendapatkan isteri gurumu!" Demikian anugerah yang di berikan oleh penuntun kuda.
  26. Kuda terus dinaikinya, dalam sekejap ia sudah sampai di rumah isteri guru, ketika itu baru habis mandi, mengenakan perhiasan. Terlihatlah sang Uttangka, datang membawakan anting-anting kepadanya, seadakan akan tidak akan marah dan mengutuk sang Uttangka akan kesia-siaan waktu perjanjiannya, Tapat pada waktunya, rasanya. Gembiralah isteri guru, anting-anting dimintanya, diambil sebagai miliknya, dipungut dari tangan sang Uttangka. Sang Uttangkapun lalu menyembah isteri guru. Sesudah itu bertanyalah ia pada waktu ia bertemu di tengah jalan. Sang Begawan Weda menjawab:
  27. "Aduh anakku sang Uttangka! sangat sukarlah pemberiaanmu pada upah guru, tapi karena bhaktimu dapat tercapi juga. Adapun lembu yang kamu dapati itu adalah Airawananya sang Hyang Indra. Kotoran kencing yang kau makan dan minum tadi sesungguhnya amrta, dua orang perempuan yang nampak olehmu itu sang Dhata dan Widhata, lawe (benag) yang ditenunwarna putih dan hitam itu sebenarnya wakt siang dan tengah malam, enam orang anak tadi adalah enam waktu, jantra jam 12 "ara" (jari-jarinya) itu 12 tanda perbintangan, adapaun yang diputarnya itu tahun, yang menuntun kuda sang Hyang Agni, yang kau tunggangi, karenanya engkau segera dapat sampai. Pendek kata semua dewa kasihan padamu, karena bhaktimu terhadap guru.
  28. Thata sukham upalabhyate, karenanya sukalah yang akan selalu kau peroleh. Pulanglah anakku, engkau mempunyai mantra yang sempurna sekarang. Demikianlah anugerah Begawan Weda kepada sang Uttangka. Sesudah itu teringatlah ia akan kesukarannya yang disebabkan oleh naga Tatsaka, marahlah ia akan membalasnya. Demikianlah maksudnya, ia lalu pergi ke negeri Hastina.
  29. Tersebutlah raja Janamejaya baru datang dari peperangan, setelah mengalahkan desa Taksila. Duduklah Maharaja di pada tempat sidang di hadapan para Menteri. Pada waktu itu datanglah sang Uttangka sambil mengucapkan mantra ketenangan dari buku weda. Serunya pada Maharaja "Tuanku pekerjaan Maharaja ini sudah semestinya, karena sangat menentang (kekuasaan) Maharaja, tak ada perbuatan yang lebih dari pada itu, tetapi yang sudah nyata sajalah kerjakan dengan segera, ada yang tidak tuanku ketahui".
  30. "Apa pekerjaan yang nyata itu??" "Kabarnya, ayahanda Maharaja dulu wafat digigit oleh naga Tatsaka dengan tidak berdosa". Bajrahuta iwacalah. Bukakankah itu bagaikan gunung yang disambar halilitar, sangat kasiannya itu, perbuatan naga Tatsaka itu menggegerkan. Baiklah kiranya tuanku melangsungkan korban ular, supaya mematikan naga jahat itu. Sebab yang disebut satria itu, orang yang berusaha mematikan musuhyang selalu menyusahkannya. Naga Tatsaka itu sungguh-sungguh berdusta, menggigit ayahanda tuanku. Sepantasnyalah kalau jatuh kedalam nyala apidalam pujaan sang Brahmana."
  31. "Karena naga Tatsaka juga telah merintangi jalan hamba pada waktu mencari anting-anting sebagai upah guru. Karena itulah hamba marah kepadanya. Karena seorang wiku tidak diperkenankan menghukum, hany diam sajalah hamba. Bagi Sri Maharaja sepantasnya menghukum, itu kewajiban seorang ksatria, menghukum orang yang semestinya kena hukuman".
  32. Demikianlah kata sang Uttangka kepada Maharaja Janamejaya. Teringatlah Maharaja akan kesatriaannya menanyakan kebenaran kabar, bahwa Maharaja leluhurnya wafat digigit naga Tatsaka. Semua menteri membenarkannya. Murkalah Maharaja. Karenanya langsung melakukan koraban ular menuruti perintah sang Uttangka. Demikianlah cerita sang Ugrasrawa kepada semua pendeta. Berakhirlah cerita (Maharaja) Posya.

Berlanjut di Adiparwa Bab IV
 

Urib iku Urub Daftar Pustaka

-Zoetmulder, JP Adiparva

-Wojowarsito,S, Kamus Kawi-indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar