Laman

Kamis, 26 Maret 2015

CANDRA SANGKALA DAN TOKOH AJI SAKA



Diktat dalam Pertemuan Ilmiah Komunitas Jawa Kuno 20 Juli 2014
                                                             Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur
Oleh :Rakai Hino G.W.


 

A.   Tokoh Ajisaka dan Kelnder Şaka

Dunia Sejarah erat sekali dengan pembahasan tahun dan peristiwa. Hal tersebut merupakan cakupan disiplin ilmu sejarah mengenai dimensi temporal, oleh sebab itu penentuan sebuah tahun yang mengandung peristiwa tertentu sangatlah penting.Diketahui Indonesia hingga saat ini memiliki sumber sejarah yang cukup berfariasi dalam penentuan angka tahun. Secara umum angka tahun yang terdapat di Indonesia memiliki pengaruh dari kebudayaan luar Indonesia yang datang ke Indonesia, misalnya tahun Masehi merupakan pengaruh dari ajaran Isa atau Nasrani, sedangkan tahun Hijriyah merupakan pengaruh dari budaya Muslim.
 
Tidak hanya tahun Masehi dan Hijriyah yang terdapat di Indonesia, dalam catatan kuno seperti serat, babad, dan prasasti yang kebanyakan peninggalan dari Kebudayaan Hindu dan Budha memiliki tahun yang dikenal dengan nama Şaka. Di Jawa khususnya kepercayaan bahwa penciptaan tahun Şaka oleh tokoh Ajisaka sangatlah erat diyakini oleh masyarakat hingga saat ini. Timbullah pertanyaan mengenai tahun Şaka tersebut yang dinyatakan asli dari jawa dan diciptakan oleh Ajisaka, termasuk juga dengan huruf Ho,No,Co,Ro,Ko, dst.

Dari beberapa sumber tertulis mengenai tokoh Aji Saka adalah sebagai berikut, yang pertama berasal dari Babad Tanah Jawi, R.Ng. Ranggawarsita berpendapat bahwa tahun Jawa dimulai sejak manusia menempati tanah Jawa, dapat diartikan pada waktu itu Ajisakalah salah satunya yang datang ke tanah Jawa dan menciptakan tahun Şaka serta huruf Jawa (Olthof, 2007:146). Yang kedua menurut Primbon Jayabaya (1931: 23-24) menyebutkan : 
 Pun Saka Sengkala anakipun empu Anggejali patutan saking Dewi saka putranipun raja sarkeling pulo Najran, jaka sangkala sareng jumeneng ajejuluk Sang Ajisaka, jengkar saking nagarinipun, lajeng ngajawi, tapa wonten redi kandha tanah Banyuwangi, jejuluk prabu Sangkala utawi empu Sangkala”. 

Adapaun masih dalam Primbon Jayabaya (1931: 10-27) menyebutkan :
Ingaran jaman kala Dwapara….. Prabu sindula, Galuh turun kapindo jejuluk Sri Dewata Cengkar, ngedhaton ing Medang Kamulan. Iku ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa, tan antara lima kasirnaake prajurit saka tanah Ngarab, jejuluk empu Ajisaka. Karsaning pangeran, sang Ajisaka jumeneng nata ing Sumedang Purwocarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobhang Widayaka…..”.

 Berikutnya didapati dalam Sappire yang berjudul Jangka Jagad (1957:51) menyebutkan:
Lah ing kono tanah Jawa banjur ono kang jumeneng ratu karem mangan daging manungso, yaiku ratu Dewata Cengkar, nata ing Medang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan satria saka tanah Arab kang jajuluk Ajisaka….”.

Juga serat Witaradya (1922) juga menceritakan jika ada ratu bernama prabu Isaka dari tanah Hindhu dan pergi ke tanah Jawa. Serat babad Pajajaran juga menceritakn , pun juga serat Sindula menceritakan tentang Ajisaka, bahkan peraga Nabi Muhamad dan Malaikat Ijajil (mungkin mksudnya Izrail) juga disebutkan.

                Begitulah antara Babad Tanah Jawi, Primbon Jayabaya, Jangka Jagad, Serat Witaradya, Serat Babad Pajajaran, dan Serat Sindula, yang kesemuanya memiliki fersi masing-masing mengenai asal-usul Ajisaka. Namun dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwasannya semua serat mengatakan Ajisaka berasal dari luar Jawa, hanya asalnya tersebut tergantung pada keyakinan penulis serat untuk melegitimasi kepercayaan masing-masing. Dari sini perlu disepakati bahwa Ajisaka bukan berasal dari Jawa atau bisa dikatakan pendatang di tanah Jawa.

                Mengenai tokoh Ajisaka yang menciptakan kalender Şaka, perlu diadakan pengkajian ulang. Kalender Şaka telah ada di India sejak 78 tahun setelah pembentukan kalender Masehi, dan kalender tersebut dipopulerkan oleh Saliwahana (Sâlivâhana) yang merupakan cikal bakal dari dinasty Guptha, setelah itu kalender Şaka populer terdapat dalam tinggalan susastra dan prasasti di Asia Selatan atau Jambu Dvipa, dapat dicontohkan dalam prasasti Nalanda, Prasati-prasasti keluaran dari raja Aşhoka, dan sebagainya (Dowson, 1992:79).

                Uraian mengenai Ajisaka sebagai pembuat kalender Şaka di Jawa perlu direfisi ulang terkait dengan bukti yang ada. Selanjutnya mengenai kemunculan cerita Ajisaka yang membuat huruf Jawa Baru (Ho,No,Co,Ro,Ko,dst), hal ini juga memerlukan koreksi ulang, mengapa demikian, awalnya cerita tersebut juga disampaikan dalam Babad Tanah Jawi. Ada kejadian penting mengenai pengikut setia Ajisaka yang berseteru lantaran sama-sama setia terhadap perintah gurunya (Ajisaka) dan mengakibatkan kematian terhadap kedua pengikut tersebut. Oleh sebab itu Ajisaka membuat pengingat untuk anak cucu (pangiling-iling) dengan lantang ia mengucapkan “Hana Caraka, Data Sawala, Padha Jayanya, Maga Bathanga” (asa utusan, sama bertengkar, sama saktinya, sama jadi bangkai). Dari seklumit cerita tersebut dalam Babad tanah Jawi dapat diketahui Ajisaka tidak memiliki maksud sedikitpun untuk menciptakan dasar huruf Jawa, tokoh Ajisaka dalam Babad Tanah Jawi hanya berpesan pada seluruh generasi penerus agar hal demikian tidak terulang dikemudian hari. Kebetulan sekali formasi huruf Jawa baru yang banyak diilhami oleh kerajaan Islam pada masa perkembangannya untuk meninggalkan budaya Hindhu sangat mirip dengan kata-kata Ajisaka tersebut, oleh sebab itu banyak yang mengira Ajisakalah yang membuat huruf Jawa Baru.

B.   Candra Sengkala
Menurut Maryono (1986) dalam bukunya yang berjudul “Sengkala Peranan dan Pengajarannya” dari Universitas Sebelas Maret menjelaskan bahwa kata Sengkala perlu ditinjau dari dua segi yaitu segi etimologi dan hakiki. Dari segi etimologi atau asal-usul kata, para ahli mengungkapkan sebagai berikut:
·      Menurut R.Bratakesawa, kata sengkalan terjadi dari kata lingga “sengkala” dan mendapat akhiran “an”, yakni “Sengkala+an”, karena adanya hukum samdhi. Dan menurutnya sangkala sendiri adalah nama seseorang yang terdapat dalam babad tanah jawi yakni Ajisaka.
·      Menururt Hazew Sengkalan berasal dari bahasa sankrta yang berbunyi şakakala. Şaka tau Işaka berarti nama orang yaitu Ajisaka, sedangkan Kala ialah waktu. Jadi Sengkalan adalah waktu menurut Şaka.
·      Menurut Sastra Roordra, sama dengan Hazew yang menyebutkan Sengkalan berarti Waktu yang diciptakan oleh Ajisaka.
·      J.Gonda mempunyai pendapat lain bahwa Sengkala berarti Samkala (sanskrta) yang berarti tahun Şaka (Maryono, 1986:8-12).
 Dari seluruh pendapat di atas, semua merujuk bahwasannya Sangkala atau Sengkala tersebut telah diciptakan oleh seseorang yang bernama Ajisaka dan berati tahun Şaka pula.  
 
                Dalam hal ini perlu digarisbawahi dalam memahami sebuah kata dalam bahasa Jawa Kuna ataupun Sanskrta harus dicari dulu kata intinya dan disesuaikan dengan makna hakiki atau makna sebenarnya dari segi filosofis. Dalam bahasa Sanskrta didapati sebuah kata yang berbunyi “şŗkala” yang berarti rantai, untaian, dalam bentuk rantai/ rangkaian (Zoetmulder, 2006:1121), kata ini bisa disamakan atau bersinonim dengan kata şŗngkala/şangkala. Dari data tersebut didapati sebuah analisa bahwaannya dalam kalender şaka, terdapat angka tahun yang berupa lambang sehingga untuk mengartikannya butuh rangkaian analaisa sehingga dapat diketahui angka tahunnya. Analisa kedua sengkalan merupakan tahun yang dihitung dari Candra sengkala dan Surya sengkala, dan maksud dari Candra sengkala itu adalah rantaian atau rangkaian tahun menurut peredaran Bulan, jadi dihitung dalam satu tahun memiliki beberapa rantaian bulan atau terdiri dari 12 rantaian bulan, begitupula dengan Surya sengkala.

C.   Nilai Simbol dalam Candra Sengkala
Candra sengkala memiliki dua bagian dalam segi bacaan, yakni Candra sengkala “lombo” dan Candra sengkala “memet”, lombo berarti biasa dan memet berarti jlimet atau rumit. Candra sengkala “lombo” adalah rangkaian angka tahun yang berbentuk kalimat dari beberapa kata, sedangkan Candra sengkala “memet” merupakan rangkaian angka tahun yang berbentuk gambar. Dikatakan lombo lantaran pembacaan angka tahun melalui kalimat lebih mudah dibandingkan sengkala berupa gambar, dan sengkala berupa gambar dikatakan memet atau rumit karena dari segi pembacaannyapun harus diartikan dalam kalimat dahulu baru baru diangkakan.
Berikut beberapa contoh mengenai lambang sengkalan dan nilai angkanya:
·      Nilai 1
a.     Semua kata yang jumlahnya satu: Nabi, Wudel, Bhumi, Bulan, Srengenge, Sirah, Ratu, Wiji, Ati, Gusti, Nata, Jagad, Hyang, Budha, dsb.
b.    Semua kata yang menyatakan benda berbentuk bulat: Bulan, matahari, bumi, wajah, dsb.
c.     Kata yang berarti satu: Tunggal, Eka, Siji, Juga, dsb.
d.    Kata-kata yang masuk kelompok angka 1: Jalma, prawan, Kenya, nyata, sunu, siwi, atmaja, paksi, dara, wungkul, tyas, sudira, budi, niyata, rat, let, iku, semedi, nekung, urip, dsb (Suwardono: 1992: 12).
·      Nilai 2
a.     Semua kata yang jumlahnya menyebut dua: mata, telinga, tangan, kaki, athi-athi, alis, sayap, bibir, dsb.
b.    Kata-kata yang menyatakan pekerjaan yang berhubungan dengan yang disebutkan di atas: Melihat, mendengar, menyembah, berjalan, terbang, dsb.
c.     Kata-kata dalam bahasa yang artinya dua: Dwi, Loro, Rwa, Rong, Dwa, dsb.
d.    Semua kata-kata yang termasuk dalam kelompok dua: Gandheng, tanduk, ngabekti, kanthi, kantet, kembar, nayana, dikara, paksa, sarana, karana, bau, caksuh, locana, temanten, dsb (Sajid,- :6).
·      Nilai 3
a.     Sifat panas atau barang yang mengandung api: Geni, agni, pawaka, dahana, anala, ujwala, payudan, kukus, abyu, dsb.
b.    Kata yang mempunyai suku kata tiga: telu, tri, mantra, hantelu, dsb.
c.     Kata yang termasuk kelompok angka tiga: lintah, cacing, welut, nahuti, lir, kaya, wiguna, wrin, guna, rana, murub, panas, uninga, katon, kaya, teken, siking, brana, dsb (Hino, 2014:20).
·      Nilai 4
a.     Bangsa air atau barang yang mengandung air: Her, sindhu, tirta, warih, wedang, bun, udan, segara, wandadi, samudra, jalanidhi, dsb.
b.    Kata yang berarti 4: catur, papat, pat, dsb.
c.     Kata yang berarti membuat: karya, kirti, kardi, karta, gawe, dsb.
d.    Kata lain kelompok angka 4: Warna, wahana, wau, dadi, dadya, keblat, suci, udaka, we, who, jladri, yoga, marta, dsb (Suwardono: 1992: 14).
·      Nilai 5
a.     Kata yang menyatakan 5: Indri, indria, panca, pandawa, lima, gangsal, dsb.
b.    Bangsa raksasa: buta, raseksa, danawa, diyu, wil, yaksa, yaksi, dsb.
c.     Bangsa senjata: panah, warayang, sora, keris, tumbak, cakra, hru, astara, dsd.
d.    Kata yang maksudnya angin: bayu, samurana, maruta, anila, pawana, sindung, dsb.
e.     Kata yang masuk angka 5: wisikan, wisaya, pancahara, pancawara, dsb (Sajid,- :9).
·      Nilai 6
a.     Kata yang menunjukkan rasa: pedas, asin, asam, manis, pahit, kecut, lona, amla, tikta, kyasa, gurih, dura, sarkara, artati, dsb.
b.    Kata benda yang memiliki sifat rasa: Lombok, uyah, gula, asem, dsb.
c.     Nama hewan berkaki 6: anggang-anggang, semut, jangkrik, gangsir, gana, dsb.
d.    Kata-kata lain kelompok angka 6: Rasa, raras, retu, oyag, obah, wayang, sedih, ilat, Madura, kayu, wreksa, ginggang, prabateng, sat, mangsa, dsb (Sajid,- :9-10).
·      Nilai 7
a.     Orang yang pekerjaannya bersemedhi: Wiku, biksu, resi, dwija, pandita, yogiswara, dsb.
b.    Nama yang artinya gunung: ardi, giri, pawarta, ancala, wukir, dsb.
c.     Nama yang artinya kuda: jaran, wajik, aswa, turangga, titihan, dsb.
d.    Kata lain dalam kategori 7: sabda, suka, wehing, angsa, gora, swaru, wulang, ajar, nabda, muni, pitu, dsb (Damais, 1995).
·      Nilai 8
a.     Bangsa reptilian: Baya, ula, kadal, biyawak, tanu, bunglon, murti, basu, tekek, cecak, naga, bhujangga, tatsaka, dsb.
b.    Nama yang artinya gajah: Dwipangga, liman, esthi, dirada, matenga, kunjara, dsb.
c.     Kata lain dalam kelompok angka 8: samadya, brahmana, manggala, asa, anggusti, basuki, wewolu, sarpa, madya, panagan, dsb (Hino, 2014:19).
·      Nilai 9
a.     Barang yang sifatnya berlubang: Gapura, guwa, dwara, wiwara, gatra, wilasira, leng, rong, trustha, trusthi, song, babahan, dsb.
b.    Kata lain yang masuk kelompok angka 9: gandha, wangi, muka, butul, dewa, ambuka, bedhah, terus, sanga, jawata, manjing, kusuma, rudra, mlebu, raga, dsb (Sajid,- :12)..
·      Nilai 0
a.     Semua kata yang menyatakan hilang atau tidak ada: nol, boma, gegana, nir, tanpa, ilang, mletik, sirna, musna, wiyat, antariksa, angkasa, Ghana, asat, ambles, surut, aşintya, dsb (Van der Molen, 1985).

D.  Kesimpulan
Pembahasan kali ini dapat disimpulakn dalam beberapa aspek untuk mengungkap sebuah fakta sejarah berkenaan dengan kalender şaka, candra sengkala, dan tokoh Ajisaka. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.       Tokoh Ajisaka jika memang dipercaya ada dan bukan tokoh fiktif melalui bebagai serat yang terdapat di Jawa, bukan berarti tokoh tersebut asli Jawa, tokoh tersebut merupakan pendatang dari Jambu Dwipa (India). Mengapa kuat dari India, tokoh tersebut erat dikatakan dalam babad sebagai tokoh penyebar budaya tulis jawa dan budaya pengenalan kalender şaka. Diketahui evolusi aksara jawa bermula dari aksara pallawa dari India dan kalender şaka juga adopsi dari budaya India.
2.       Candra Sengkala bukan diciptakan oleh Ajisaka, melainkan candra sengkala tersebut merupakan adopsi dari budaya India yang tercampur dengan budaya local. Percampuran tersebut dapat dilihat dari segi kerumitan candra sengkala yang syarat dengan makna sebagai mana falsafah orang jawa yang selalu penuh makna.
3.       Menurut Mardiwarsito dalam Babad Tanah Jawi dikatakan Ajisaka yang menentukan penambahan angka 78 jika kalender şaka diequifalenkan dengan kalender masehi. Jadi dalam hal ini diduga masyarakat Jawa mengkhultuskan sosok Ajisaka sebagai pembaharu budaya Jawa melalui kalender dan huruf. Dan perlu diketahui pula bahwasannya penambahan kalender dari şaka ke masehi tidak hanya 78, hal ini harus ditambahkan 79 dalam bulan-bulan tertentu (Magha, Phalguna, atau pada tanggal 10 Suklapaktsa-15 krsnapaktsa bulan Posya) (Nastiti, 1982:1).
4.       Untuk memaknai candra sengkala sudah ditetapkan sesuai makna sifat, atau benda. Jadi untuk membuat sebuah sengkalan atau candra sengkala pada masa kini diharapkan untuk melihat aturan atau pembahasan mengenai candra sengkala.
5.       Pembacaan angka tahun melalui candra sengkala harus sesuai makna untuk menguak data sejarah yang spesifik, karena salah pemaknaan angka biasanya dapat mengkaburkan peristiwa sejarah atau peninggalan sejarah. Hal ini dapat dicontohkan dalam pembacaan inskripsi pendek oleh beberapa arkeolog pada Asan Arca Ganesya Boro. Banyak arkeolog yang membaca “Hana Gana Hana Bumi” jika diangkakan Hana=1, Gana=8, Hana=1, Bumi=1,, maka bacaannya dibalik ketemu 1181 şaka, yakni sudah masuk masa Rajasa/ Ken Angrok, dapat disimpulkan arca tersebut tinggalan dari Rajasawamsa. Sedangkan jika kit abaca secara teliti inskripsi pendek tersebut, ternyata Arca Ganesya Boro masih tinggalan dari Kertajaya/ Dandang Gendis sebagai penguasa akhir Kadiri, mengapa demikian ini terletak hanya pada bacaan saja, bacaan yang benar adalah “Hana=1, Ghana=0, Hana=1, Bumi=1, jadi jika dibaca 1101 şaka.




E.        Daftar Pustaka

Bakker, J.W.M. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Seri Risalah Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah Djurusan Sedjarah Budaja IKIP. Jogjakarta: Sanata Dharma.

Damais, LC. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara, pilihan Karangan Louis Charles Damais. Jakarta:EFEO.

Dowson, John. 1992. A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion. New Delhi: Heritage Publishers

Hardiati, E.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II Zaman kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Hino, Rakai. 2014. Sejarah dan Tinjauan Arkeologi Candi Sawentar I dan II. Malang: CV Stirangga Sastra.

Maryono. 1986. Sangkala (Peranan dan Pengajarannya). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Nastiti, TS. 1982. Tiga Prasasti Masa balitung. Jakarta: Departemen Pariwisata dan Kebudayaan.

Olthof, W.L. 2007. Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647. Jakarta: Narasi.

Sajid, RM. -. Serat Kawruh Bab Candra Sengkala. Surakarta: Pura Mangkunegaran Solo.

Suwardono, 1992. Prasasti Bunul dan Hari Jadi Desa Bunulrejo Kota Malang. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Malang.

Van der Molen, Willem. 1985. Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa, Aksara dan Ramalan Nasib Dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Direktorat Jendral kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan.

Zoetmulder, P.J. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Uatama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar