Diktat dalam Pertemuan Ilmiah Komunitas Jawa Kuno 20 Juli 2014
Trowulan, Mojokerto,
Jawa Timur
Oleh :Rakai Hino G.W.
A.
Tokoh Ajisaka dan Kelnder Şaka
Dunia Sejarah erat sekali dengan pembahasan
tahun dan peristiwa. Hal tersebut merupakan cakupan disiplin ilmu sejarah
mengenai dimensi temporal, oleh sebab itu penentuan sebuah tahun yang
mengandung peristiwa tertentu sangatlah penting.Diketahui Indonesia hingga saat ini memiliki
sumber sejarah yang cukup berfariasi dalam penentuan angka tahun. Secara umum
angka tahun yang terdapat di Indonesia memiliki pengaruh dari kebudayaan luar
Indonesia yang datang ke Indonesia, misalnya tahun Masehi merupakan pengaruh
dari ajaran Isa atau Nasrani, sedangkan tahun Hijriyah merupakan pengaruh dari
budaya Muslim.
Tidak hanya tahun Masehi dan Hijriyah yang
terdapat di Indonesia, dalam catatan kuno seperti serat, babad, dan prasasti
yang kebanyakan peninggalan dari Kebudayaan Hindu dan Budha memiliki tahun yang
dikenal dengan nama Şaka. Di Jawa khususnya kepercayaan bahwa penciptaan tahun
Şaka oleh tokoh Ajisaka sangatlah erat diyakini oleh masyarakat hingga saat
ini. Timbullah pertanyaan mengenai tahun Şaka tersebut yang dinyatakan asli dari
jawa dan diciptakan oleh Ajisaka, termasuk juga dengan huruf Ho,No,Co,Ro,Ko,
dst.
Dari beberapa sumber tertulis mengenai tokoh
Aji Saka adalah sebagai berikut, yang pertama berasal dari Babad Tanah Jawi, R.Ng.
Ranggawarsita berpendapat bahwa tahun Jawa dimulai sejak manusia menempati
tanah Jawa, dapat diartikan pada waktu itu Ajisakalah salah satunya yang datang
ke tanah Jawa dan menciptakan tahun Şaka serta huruf Jawa (Olthof, 2007:146). Yang kedua menurut Primbon Jayabaya (1931:
23-24) menyebutkan :
“Pun
Saka Sengkala anakipun empu Anggejali patutan saking Dewi saka putranipun raja
sarkeling pulo Najran, jaka sangkala sareng jumeneng ajejuluk Sang Ajisaka,
jengkar saking nagarinipun, lajeng ngajawi, tapa wonten redi kandha tanah
Banyuwangi, jejuluk prabu Sangkala utawi empu Sangkala”.
Adapaun
masih dalam Primbon Jayabaya (1931: 10-27) menyebutkan :
“Ingaran jaman kala Dwapara….. Prabu sindula,
Galuh turun kapindo jejuluk Sri Dewata Cengkar, ngedhaton ing Medang Kamulan.
Iku ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa, tan antara lima kasirnaake
prajurit saka tanah Ngarab, jejuluk empu Ajisaka. Karsaning pangeran, sang
Ajisaka jumeneng nata ing Sumedang Purwocarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobhang
Widayaka…..”.
Berikutnya didapati dalam
Sappire yang berjudul Jangka Jagad (1957:51) menyebutkan:
“Lah ing kono tanah Jawa banjur ono kang
jumeneng ratu karem mangan daging manungso, yaiku ratu Dewata Cengkar, nata ing
Medang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan satria saka tanah Arab kang jajuluk
Ajisaka….”.
Juga
serat Witaradya (1922) juga menceritakan jika ada ratu bernama prabu Isaka dari
tanah Hindhu dan pergi ke tanah Jawa. Serat babad Pajajaran juga menceritakn ,
pun juga serat Sindula menceritakan tentang Ajisaka, bahkan peraga Nabi Muhamad
dan Malaikat Ijajil (mungkin mksudnya Izrail) juga disebutkan.
Begitulah antara Babad Tanah
Jawi, Primbon Jayabaya, Jangka Jagad, Serat Witaradya, Serat Babad Pajajaran,
dan Serat Sindula, yang kesemuanya memiliki fersi masing-masing mengenai
asal-usul Ajisaka. Namun dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwasannya semua
serat mengatakan Ajisaka berasal dari luar Jawa, hanya asalnya tersebut
tergantung pada keyakinan penulis serat untuk melegitimasi kepercayaan
masing-masing. Dari sini perlu disepakati bahwa Ajisaka bukan berasal dari Jawa
atau bisa dikatakan pendatang di tanah Jawa.
Mengenai tokoh Ajisaka yang
menciptakan kalender Şaka, perlu diadakan pengkajian ulang. Kalender Şaka telah
ada di India sejak 78 tahun setelah pembentukan kalender Masehi, dan kalender
tersebut dipopulerkan oleh Saliwahana (Sâlivâhana) yang merupakan cikal bakal dari dinasty
Guptha, setelah itu kalender Şaka populer terdapat dalam
tinggalan susastra dan prasasti di Asia Selatan atau Jambu Dvipa, dapat
dicontohkan dalam prasasti Nalanda, Prasati-prasasti keluaran dari raja Aşhoka,
dan sebagainya (Dowson, 1992:79).
Uraian mengenai Ajisaka sebagai
pembuat kalender Şaka di Jawa perlu direfisi ulang terkait dengan bukti yang
ada. Selanjutnya mengenai kemunculan cerita Ajisaka yang membuat huruf Jawa
Baru (Ho,No,Co,Ro,Ko,dst), hal ini juga memerlukan koreksi ulang, mengapa
demikian, awalnya cerita tersebut juga disampaikan dalam Babad Tanah Jawi. Ada
kejadian penting mengenai pengikut setia Ajisaka yang berseteru lantaran
sama-sama setia terhadap perintah gurunya (Ajisaka) dan mengakibatkan kematian
terhadap kedua pengikut tersebut. Oleh sebab itu Ajisaka membuat pengingat
untuk anak cucu (pangiling-iling) dengan lantang ia mengucapkan “Hana Caraka,
Data Sawala, Padha Jayanya, Maga Bathanga” (asa utusan, sama bertengkar, sama
saktinya, sama jadi bangkai). Dari seklumit cerita tersebut dalam Babad tanah
Jawi dapat diketahui Ajisaka tidak memiliki maksud sedikitpun untuk menciptakan
dasar huruf Jawa, tokoh Ajisaka dalam Babad Tanah Jawi hanya berpesan pada
seluruh generasi penerus agar hal demikian tidak terulang dikemudian hari.
Kebetulan sekali formasi huruf Jawa baru yang banyak diilhami oleh kerajaan
Islam pada masa perkembangannya untuk meninggalkan budaya Hindhu sangat mirip
dengan kata-kata Ajisaka tersebut, oleh sebab itu banyak yang mengira
Ajisakalah yang membuat huruf Jawa Baru.
B.
Candra Sengkala
Menurut Maryono (1986) dalam bukunya yang
berjudul “Sengkala Peranan dan Pengajarannya” dari Universitas Sebelas Maret
menjelaskan bahwa kata Sengkala perlu ditinjau dari dua segi yaitu segi
etimologi dan hakiki. Dari segi etimologi atau asal-usul kata, para ahli
mengungkapkan sebagai berikut:
·
Menurut R.Bratakesawa,
kata sengkalan terjadi dari kata lingga “sengkala” dan mendapat akhiran “an”,
yakni “Sengkala+an”, karena adanya hukum samdhi. Dan menurutnya sangkala
sendiri adalah nama seseorang yang terdapat dalam babad tanah jawi yakni
Ajisaka.
·
Menururt
Hazew Sengkalan berasal dari bahasa sankrta yang berbunyi şakakala. Şaka tau
Işaka berarti nama orang yaitu Ajisaka, sedangkan Kala ialah waktu. Jadi
Sengkalan adalah waktu menurut Şaka.
·
Menurut
Sastra Roordra, sama dengan Hazew yang menyebutkan Sengkalan berarti Waktu yang
diciptakan oleh Ajisaka.
·
J.Gonda
mempunyai pendapat lain bahwa Sengkala berarti Samkala (sanskrta) yang berarti
tahun Şaka (Maryono, 1986:8-12).
Dari
seluruh pendapat di atas, semua merujuk bahwasannya Sangkala atau Sengkala
tersebut telah diciptakan oleh seseorang yang bernama Ajisaka dan berati tahun
Şaka pula.
Dalam hal ini perlu
digarisbawahi dalam memahami sebuah kata dalam bahasa Jawa Kuna ataupun
Sanskrta harus dicari dulu kata intinya dan disesuaikan dengan makna hakiki
atau makna sebenarnya dari segi filosofis. Dalam bahasa Sanskrta didapati
sebuah kata yang berbunyi “şŗkala”
yang berarti rantai, untaian, dalam bentuk rantai/ rangkaian (Zoetmulder,
2006:1121), kata ini bisa disamakan atau bersinonim dengan kata şŗngkala/şangkala.
Dari data tersebut didapati sebuah analisa bahwaannya dalam kalender şaka,
terdapat angka tahun yang berupa lambang sehingga untuk mengartikannya butuh
rangkaian analaisa sehingga dapat diketahui angka tahunnya. Analisa kedua
sengkalan merupakan tahun yang dihitung dari Candra sengkala dan Surya
sengkala, dan maksud dari Candra sengkala itu adalah rantaian atau rangkaian
tahun menurut peredaran Bulan, jadi dihitung dalam satu tahun memiliki beberapa
rantaian bulan atau terdiri dari 12 rantaian bulan, begitupula dengan Surya
sengkala.
C.
Nilai Simbol dalam Candra Sengkala
Candra sengkala memiliki dua bagian dalam
segi bacaan, yakni Candra sengkala “lombo” dan Candra sengkala “memet”, lombo
berarti biasa dan memet berarti jlimet atau rumit. Candra sengkala “lombo”
adalah rangkaian angka tahun yang berbentuk kalimat dari beberapa kata,
sedangkan Candra sengkala “memet” merupakan rangkaian angka tahun yang
berbentuk gambar. Dikatakan lombo lantaran pembacaan angka tahun melalui
kalimat lebih mudah dibandingkan sengkala berupa gambar, dan sengkala berupa
gambar dikatakan memet atau rumit karena dari segi pembacaannyapun harus
diartikan dalam kalimat dahulu baru baru diangkakan.
Berikut beberapa contoh mengenai lambang
sengkalan dan nilai angkanya:
·
Nilai 1
a.
Semua kata
yang jumlahnya satu: Nabi, Wudel, Bhumi, Bulan, Srengenge, Sirah, Ratu, Wiji,
Ati, Gusti, Nata, Jagad, Hyang, Budha, dsb.
b.
Semua kata
yang menyatakan benda berbentuk bulat: Bulan, matahari, bumi, wajah, dsb.
c.
Kata yang
berarti satu: Tunggal, Eka, Siji, Juga, dsb.
d.
Kata-kata
yang masuk kelompok angka 1: Jalma, prawan, Kenya, nyata, sunu, siwi, atmaja,
paksi, dara, wungkul, tyas, sudira, budi, niyata, rat, let, iku, semedi,
nekung, urip, dsb (Suwardono: 1992: 12).
·
Nilai 2
a.
Semua kata
yang jumlahnya menyebut dua: mata, telinga, tangan, kaki, athi-athi, alis,
sayap, bibir, dsb.
b.
Kata-kata
yang menyatakan pekerjaan yang berhubungan dengan yang disebutkan di atas:
Melihat, mendengar, menyembah, berjalan, terbang, dsb.
c.
Kata-kata
dalam bahasa yang artinya dua: Dwi, Loro, Rwa, Rong, Dwa, dsb.
d.
Semua
kata-kata yang termasuk dalam kelompok dua: Gandheng, tanduk, ngabekti, kanthi,
kantet, kembar, nayana, dikara, paksa, sarana, karana, bau, caksuh, locana,
temanten, dsb (Sajid,- :6).
·
Nilai 3
a.
Sifat panas
atau barang yang mengandung api: Geni, agni, pawaka, dahana, anala, ujwala, payudan,
kukus, abyu, dsb.
b.
Kata yang
mempunyai suku kata tiga: telu, tri, mantra, hantelu, dsb.
c.
Kata yang
termasuk kelompok angka tiga: lintah, cacing, welut, nahuti, lir, kaya, wiguna,
wrin, guna, rana, murub, panas, uninga, katon, kaya, teken, siking, brana, dsb (Hino,
2014:20).
·
Nilai 4
a.
Bangsa air
atau barang yang mengandung air: Her, sindhu, tirta, warih, wedang, bun, udan,
segara, wandadi, samudra, jalanidhi, dsb.
b.
Kata yang
berarti 4: catur, papat, pat, dsb.
c.
Kata yang
berarti membuat: karya, kirti, kardi, karta, gawe, dsb.
d.
Kata lain
kelompok angka 4: Warna, wahana, wau, dadi, dadya, keblat, suci, udaka, we,
who, jladri, yoga, marta, dsb (Suwardono: 1992: 14).
·
Nilai 5
a.
Kata yang
menyatakan 5: Indri, indria, panca, pandawa, lima, gangsal, dsb.
b.
Bangsa
raksasa: buta, raseksa, danawa, diyu, wil, yaksa, yaksi, dsb.
c.
Bangsa
senjata: panah, warayang, sora, keris, tumbak, cakra, hru, astara, dsd.
d.
Kata yang
maksudnya angin: bayu, samurana, maruta, anila, pawana, sindung, dsb.
e.
Kata yang
masuk angka 5: wisikan, wisaya, pancahara, pancawara, dsb (Sajid,- :9).
·
Nilai 6
a.
Kata yang
menunjukkan rasa: pedas, asin, asam, manis, pahit, kecut, lona, amla, tikta,
kyasa, gurih, dura, sarkara, artati, dsb.
b.
Kata benda
yang memiliki sifat rasa: Lombok, uyah, gula, asem, dsb.
c.
Nama hewan
berkaki 6: anggang-anggang, semut, jangkrik, gangsir, gana, dsb.
d.
Kata-kata
lain kelompok angka 6: Rasa, raras, retu, oyag, obah, wayang, sedih, ilat,
Madura, kayu, wreksa, ginggang, prabateng, sat, mangsa, dsb (Sajid,- :9-10).
·
Nilai 7
a.
Orang yang
pekerjaannya bersemedhi: Wiku, biksu, resi, dwija, pandita, yogiswara, dsb.
b.
Nama yang
artinya gunung: ardi, giri, pawarta, ancala, wukir, dsb.
c.
Nama yang
artinya kuda: jaran, wajik, aswa, turangga, titihan, dsb.
d.
Kata lain
dalam kategori 7: sabda, suka, wehing, angsa, gora, swaru, wulang, ajar, nabda,
muni, pitu, dsb (Damais, 1995).
·
Nilai 8
a.
Bangsa
reptilian: Baya, ula, kadal, biyawak, tanu, bunglon, murti, basu, tekek, cecak,
naga, bhujangga, tatsaka, dsb.
b.
Nama yang
artinya gajah: Dwipangga, liman, esthi, dirada, matenga, kunjara, dsb.
c.
Kata lain
dalam kelompok angka 8: samadya, brahmana, manggala, asa, anggusti, basuki,
wewolu, sarpa, madya, panagan, dsb (Hino, 2014:19).
·
Nilai 9
a.
Barang yang
sifatnya berlubang: Gapura, guwa, dwara, wiwara, gatra, wilasira, leng, rong,
trustha, trusthi, song, babahan, dsb.
b.
Kata lain
yang masuk kelompok angka 9: gandha, wangi, muka, butul, dewa, ambuka, bedhah,
terus, sanga, jawata, manjing, kusuma, rudra, mlebu, raga, dsb (Sajid,- :12)..
·
Nilai 0
a.
Semua kata
yang menyatakan hilang atau tidak ada: nol, boma, gegana, nir, tanpa, ilang,
mletik, sirna, musna, wiyat, antariksa, angkasa, Ghana, asat, ambles, surut,
aşintya, dsb (Van der Molen, 1985).
D. Kesimpulan
Pembahasan kali ini dapat disimpulakn dalam
beberapa aspek untuk mengungkap sebuah fakta sejarah berkenaan dengan kalender
şaka, candra sengkala, dan tokoh Ajisaka. Hal tersebut dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Tokoh
Ajisaka jika memang dipercaya ada dan bukan tokoh fiktif melalui bebagai serat
yang terdapat di Jawa, bukan berarti tokoh tersebut asli Jawa, tokoh tersebut
merupakan pendatang dari Jambu Dwipa (India). Mengapa kuat dari India, tokoh
tersebut erat dikatakan dalam babad sebagai tokoh penyebar budaya tulis jawa
dan budaya pengenalan kalender şaka. Diketahui evolusi aksara jawa bermula dari
aksara pallawa dari India dan kalender şaka juga adopsi dari budaya India.
2.
Candra
Sengkala bukan diciptakan oleh Ajisaka, melainkan candra sengkala tersebut
merupakan adopsi dari budaya India yang tercampur dengan budaya local.
Percampuran tersebut dapat dilihat dari segi kerumitan candra sengkala yang
syarat dengan makna sebagai mana falsafah orang jawa yang selalu penuh makna.
3.
Menurut
Mardiwarsito dalam Babad Tanah Jawi dikatakan Ajisaka yang menentukan
penambahan angka 78 jika kalender şaka diequifalenkan dengan kalender masehi.
Jadi dalam hal ini diduga masyarakat Jawa mengkhultuskan sosok Ajisaka sebagai
pembaharu budaya Jawa melalui kalender dan huruf. Dan perlu diketahui pula
bahwasannya penambahan kalender dari şaka ke masehi tidak hanya 78, hal ini
harus ditambahkan 79 dalam bulan-bulan tertentu (Magha, Phalguna, atau pada
tanggal 10 Suklapaktsa-15 krsnapaktsa bulan Posya) (Nastiti, 1982:1).
4.
Untuk
memaknai candra sengkala sudah ditetapkan sesuai makna sifat, atau benda. Jadi
untuk membuat sebuah sengkalan atau candra sengkala pada masa kini diharapkan
untuk melihat aturan atau pembahasan mengenai candra sengkala.
5.
Pembacaan
angka tahun melalui candra sengkala harus sesuai makna untuk menguak data
sejarah yang spesifik, karena salah pemaknaan angka biasanya dapat mengkaburkan
peristiwa sejarah atau peninggalan sejarah. Hal ini dapat dicontohkan dalam
pembacaan inskripsi pendek oleh beberapa arkeolog pada Asan Arca Ganesya Boro.
Banyak arkeolog yang membaca “Hana Gana Hana Bumi” jika diangkakan Hana=1,
Gana=8, Hana=1, Bumi=1,, maka bacaannya dibalik ketemu 1181 şaka, yakni sudah
masuk masa Rajasa/ Ken Angrok, dapat disimpulkan arca tersebut tinggalan dari
Rajasawamsa. Sedangkan jika kit abaca secara teliti inskripsi pendek tersebut,
ternyata Arca Ganesya Boro masih tinggalan dari Kertajaya/ Dandang Gendis
sebagai penguasa akhir Kadiri, mengapa demikian ini terletak hanya pada bacaan
saja, bacaan yang benar adalah “Hana=1, Ghana=0, Hana=1, Bumi=1, jadi jika
dibaca 1101 şaka.
E.
Daftar Pustaka
Bakker, J.W.M. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Seri Risalah
Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah Djurusan Sedjarah Budaja IKIP.
Jogjakarta: Sanata Dharma.
Damais, LC. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara, pilihan
Karangan Louis Charles Damais. Jakarta:EFEO.
Dowson,
John. 1992. A Classical Dictionary of Hindu
Mythology and Religion. New
Delhi: Heritage Publishers
Hardiati,
E.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II
Zaman kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Hino, Rakai. 2014. Sejarah dan Tinjauan Arkeologi Candi
Sawentar I dan II. Malang: CV Stirangga Sastra.
Maryono.
1986. Sangkala (Peranan dan
Pengajarannya). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Nastiti,
TS. 1982. Tiga Prasasti Masa balitung.
Jakarta: Departemen Pariwisata dan Kebudayaan.
Olthof, W.L. 2007. Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam
sampai Tahun 1647. Jakarta: Narasi.
Sajid,
RM. -. Serat Kawruh Bab Candra Sengkala.
Surakarta: Pura Mangkunegaran Solo.
Suwardono,
1992. Prasasti Bunul dan Hari Jadi Desa
Bunulrejo Kota Malang. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Malang.
Van der Molen, Willem. 1985. Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa,
Aksara dan Ramalan Nasib Dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek
penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Direktorat Jendral kebudayaan
Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
Zoetmulder, P.J. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Uatama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar