- Seseudah para raksasa dan daitya kalah, Bhatara Wisnu pulang kembali di iringi oleh golu para dewa yang telah mendapatkan amrta. Sampai di Wishnuloka amrta lalu di minumnya, itulah sebabnya amrta tidak mengenal pati.
Seorang raksasa anak sang Wipracitti dengan sang Singhika mendengar akan hal itu, lalu ia berubah wujud menjadi dewa, ikut meminum amrta. Sang Hyang Adittya dan Sang Hyang Candra mengetahui bahwa dia raksasa lalu mnagatakan pada Bhatara Wisnu. - Saat amrta baru (diminum dan sampai) di lehernya, (wisnu melempar) cakranya, (hingga) terpenggal kepalanya. Badannya jatuh di tanah bagaikan jatuh di puncak gunung. Terjadilah gempa bumi, bergerak karena berat bangkai badannya itu.
Adapun kepalanya melayang di angkasa, karena atas kesucian amrta (yang diminum tadi), karena belum mendapat (kena) amrta. Karena dendamnya atas laporan sang Hyang Aditya dan Candra kepada Bhatara Wisnu, bhaksati rawicandrau, itulah sebabnya anak raksasa tadi marah kepada Hyang Aditya dan Candra, ia memakannya pada waktu pertengahan bulan. Demikianlah cerita pengeburan amrta. - Uccaihsrawaswam utpadyah, keluarnya kuda Uccaihsrawa. Sang Kadru mendengar kabar, bahwa da seekor kuda yang di perolah di waktu mengebur samudra, berkatalah pada sang Winata. Katanya:
"Adakah adik mendengar, bahwa ada kuda Uccaihsrawa, muncul dari samudra Lawana, konon rupanya sangat bagus, swetawarna, putih bulunya, krsnacamara, hitam warna ekornya. Demikian kabar yang kudengar." - Demikianlah kata sang Kadru, sang Winata menjawabnya:
"Sweta ewaswarajasca, menurut pendengaranku hanya berwarna putih saja, ekornya tidak berwarna hitam". Demikianlah kata sang Winata, keduanya tetap berpegang pada pendengaran masing-masing. Karena (yakin akan) kepastiannya akan apa yang di ketahui, mereka bertaruh akan menjadi budak. Mereka lalu berjanji akan menyaksikkan kebenarannya pada esok harinya. Setelah memperbincangkan perjanjian itu, sang Kadru berkata pada anaknya, para naga, bahwa ia bertaruhan dengan sang Winata tentang warna kuda.
Anaknya mengatakan bahwa warna itu putih. katanya: - "Aduh ibu, ibuku kalah, karena kuda itu bulunya putih belaka". Bingunlah sang Kadru, rasanya sudah sungguh-sungguh kalah. Lalu meminta bantuan kepada anak-anaknya.
"Hai anakku para naga bantulah dengan segala usaha(mu), baik kiranya kalau ekor kuda Uccaihsrawa itu kamu perciki dengan bisa supaya menjadi hitam, kemudian saya tidak menjadi budak sang Winata!" - Demikian kata sang Kadru, para naga tidak mau mnurut perintah ibunya, karena perbuatan demikian tidaklah pantas. Sang Kadru marah karena perintahnya tidak dituruti, anaknya lalu dikutuk: "Sarpa satre wartamane pawako wah pradhaksyati, sangatlah kejam kamu, kamu menentang perintahku, kelak kamu akan menjadi sengsara, dimakan api pada korban ular yang di langsungkan oleh raja Janamejaya". Demikian kutuk sang Kadru kepada para naga, anaknya. Bhtara Brahma mendengar akan kutuk itu lalu menjadi saksi atasnya. Pada waktu itulah Begawan Kesyapa diberi penolak bisa oleh bathara Brahma, mantranya berada di tepi laut Ksira.
Garuda disambut oleh ibunya, dan ia disuruh tinggal disitu untuk keperluan sang Kadru. Tidak diceritakan berapa lamanya ia menjadi budak, sang Kadru ingin bercangkrama di tepi laut, sang Winata diminta untuk menjaga adiknya (madu), sedang sang Garuda diminta untuk menjaga para Naga. Para naga di bawa terbang ke dekat Matahari hingga mereka merasakan kepanasan, bubar merana oleh terik panas matahari. Sang Kadrupun merasa kasihan melihat anak-anaknya kepanasan, lalu ia memuja kepada dewa Indra. Kemudian datanglah awa dari segala arah dengan kilat dan guruhnya, bergelegar dengan suara yang sangat keras. Lalu hujanpun turun, para naga menjadi merasa sangat sejuk. Naga-naga lalu pergi kearah mana saja, pergi ke segala tempat, segala hutan dimasukinya. - Hal itu menyebabkan san Garuda payah mencari kepergian para Naga. Karena letihnya menjaga naaga itu, Garuda mengeluh kepada ibunya:
"Aduh ibu! karena ketidak tahuan saya akan sebabnya, maka sekarang ibu menyuruh saya atas segala perintah naga, apa yang di kehendakinya ibu kerjakan. Saya disuruh mengasuh mereka, sangatlah payah saya ibu, karena mereka berjalan kemana saja. Lagi pula saya lihat mereka tak mau berkumpul, apakah sebabnya ibu menyuruh saya untuk mengasuh para naga itu?" - Jawab sang Winata:
"Dasibhutasmy aham putra, aduh anakku sang Garudha, engkau akan ku beri tahu. Aku menjadi budak karena dahulu kalah bertaruhan dengan sang Kadru, perbuatan budak tidak boleh menentang tuannya, itulah sebabnya engkau bekerja seperti ini.
Adapun engkau menaruh belas kasihan kepada ibumu, bertanyalah kepada para naga, apakahyang menjadi penebusku. Katakan pada para naga, supaya engakautidak payah lagi! - Demikian kata sag Winata, mengertilah sang garuda sekarang apa sebab mengerjakan segala perintah naga. Kalau naga tidak mau dihalang-halangi jika ingin bermain terlalu jauh, ia dimakan oleh Garuda, karena ia lapar mengasuh para naga yang jumlahnya seribu ekor. Akhirnya bertanya kepada para naga:
"Hai kamu para naga, apa yang harus aku tebus untuk ibuku?" - Para naga menjawab:
"Kalau engakau ingin membayar hutang ibumu untuk tidak menjadi budakku, ada amrta yang dimiliki dari hasil mengaduk laut. Ambillah itu untuk menebus ibumu, supaya ibumu tidak menjadi budakku lagi.
Demikianlah kata para naga, sang Garuda menjadi senang karenanya, lalu ia mohon ijin kepada ibunya, minta diberi bekal olehnya.
Kata sang Winata: "Anakku! Restuu sebagai bekalmu, pergilah ke sebuah pulau yang aku tunjukkan, pualu ini berisi orang-orang jahat, bertempat di tepi laut setiap hari hanya mendatangkan kesusahan. Makanlah mereka sebagai bekalmu mencari amrta." - "Jika ada brahmana disana, jangan engkau makan, karena pembunuhan terhadap para Brahmana adalah hal yang dilarang. Tandanya bagimu, kalau lehermu terasa panas seperti menelan api itu artinya ada Brahmana yang termakan, biarkanla mereka hidup. Karena Brahmana itu seperti ayahmu, begawan Kesyapa. ia seorang Brahmana, jangan engakau sekali-kali menghina seorang wiku yang demikian itu."
"Itulah berkahku kepadamu agar dapat menyelasaikan pekerjaan. Peksas te marutah patu, candra suryac ca prsthatah, siras ca patu wahnis te wasawah sarwatas tanum." - "Sang Hyang Bayu melindungi kedua sayapmu, yang menjaga punggungmu sang Hyang Candra. Dan yang menjaga kakimu adalah sang Hyang Agni dan Angin. Segala dewa melindungi seluruh tubuhmu. Mudah-mudahan enkau berhasil baik". Demikianah kata sang Winata, memberi selamat pada anaknya.
Sang garuda lalu pergi ketanah Kusya, sebuah desa di pinggir laut, sayapnya lalu di bentangkannya, laut di sebelah timur ditepuk, hingga membuat tanahnya menjadi basah, terjadilah gempa (Bhatari Pertiwi menjadi gocang), puncak gunung bergerak karena sayapnya. Bangsa Nisada ketakutan, berlarian tak tau kemana arah perginya. Mumut saang Garuda lalu menganga, nammpak seperti gua, baik untuk menjadi tepat perlndungan. - Disanalah setiap orang laki-laki, perempuan dan anak-anak masuk, lalu ditelan oleh Garuda, tapi kemudian lehernya terasa panas, mengertilah ia, bahwa ada brahmana yang tertelan olehnya. Lalu Garuda berkata:
"Wayam me brahmanotwadyah, keluarlah engakau sang Brahmana dari mulut ku sekarang juga, sebelum engkau binasa, supaya saya tidak menanggung dosa karena membunuh Brahmana". Papeswa piratah sada. Bagaimanapun juga pekerjaan yang dikerjakannya akan sengsara juga hasilnya, karena membunuh Brahmana. - Demikian kata sang Garuda, sang brahmana daan istrinya dikeluarkannya, sedangkan Nisada yang jahat terus dimasukkan. Sesudah memuntahkan sang dwija ia terbang ke angkasa. Ia sudah makan orang-orang jahat, tapi tidak merasa kenyang karenanya.
Ia bertemu ayahnya, ia minta diberi apa saja yang patut dimakan. Menjawablah bapaknya dan memberitahu apa yang disuruhnya makan, katanya:
"Hai anaku sang Garudha, ada dua orang raja yang bersaudara bernama Wibhawasu, adiknya bernama Supratika, keduanya sangat marah dengan lobanya." - Mereka membagi harta bendan warisan dari ayahnya, sang Wibhawasu tidak mau menerima separuh, karena kuatir kalau adiknya tak akan menghormat kepadanya. Karena (dengan) memaksanya meminta akan harta benda itu kepada Wibhawasu,adiknya di kutuk: "Hastiwam samawapayasi. Engkau akan menjadi gajah" Supratika menjadi gajah, lalu membalas mengutuk, katanya:
"Kacchapas twam bhawisyasi". Sangatlah kejam kamu terhadap aku Wibhawasu, engkau akan menjadi kura-kura (penyu). Karenanya lalu Wibhawasu menjadi penyu. - Berapa besarnya? "Kur mas triyojanadedah. Kura-kura Wibhawasu, tinggi badannya 3 yojana, adapaun keliing badannya 10 yojana. itulah ukuran penyu Wibhawasu.
Asapun gajah tadi. "Sad ucchrito yojanani, tinggi badannya 6 yojan. Gajodwadwigunayatah. Panjangnya 12 yojana. Gajah dan penyu selalu bertengkar di dalam air di tempat semula. Semua mahkluk menjadi gempar karenanya. Itulah hendaknya yang anakku makan, sebagai syaratmu menyelesaikan pekerjaan ibumu". - Demikianlah kata begawan Kesyapa:
Sang Garuda pegi ke tempat gajah dan kura-kura. ia sudah sampai di pinggiran telaga, ada di lereng gunung Hiawan, bertemu dengan gajah dan kura-kura yang sedang bertengkar, keduanya lalu dicengkeram kakinya lalu disambarnya di bawa ke angkasa.
Ada sebatang ponon yang rindang di lereng gunung Himawan, bagian sebelah timur terkena ombak air laut Lawana. Kancanamya, terbuat dari emas rupanya. Ada sebuah cabangnya yang membujur ketimur, satayojanam ayatam, panjangnya 100 yojana, menjadi tempat Walakiliya sebanyak 60.000 orang, mereka resi-resi sempurna, sakti, ukuran badannya hanya sebesar ibu jari, semua berjumlah 60.000 orang dan namanya Satisahastra Walakiya (Walakiya 60.000 orang) - Masih piwet, mereka terkena sinar matahari. Semua bertempat tinggal di bawah cabang kayu tadi; maksud sang Garuda di sanalah tempatnya makan gajah dan kura-kura.
Baru saja hinggap, cabang kayu tadi patah, tidak kuat menahan beratnya. Karena takut sang rsi Walakiya 60.000 ribut terpukul kayu, dengan tangkas dan hati-hati sang Garudha menyambar kayu tadi, sedang gajah dan penyu berada di kakinya kanan dan kiri. Lalu pergiah ia mencari tempat lain. Ketika sang Garuda melayang, datanglah begawan Kesyapa minta belas kasihan kepada begawan Welakiya 60.000 supaya menghilang kesahan Garuda sebagai pembunuhan Brahmana, sehingga sang Garuda akan mendapat kesenangan karenanya. - Sang Walakiya 60.000 orang pergilah. Ada sebuah gunung, Gandhamadana namanya. Gunung itulah yan dituju sang Garuda atas perintah begawan Kasyapa, ayahnya. Di gunung Gandhamadana itulah sang Garudha makan gajah dan penyu. Sesudah itu ia terbang lagi. Adapun dahan kayu yang di patuknya tadi di buang di lerang gunung Himawan, yang tiada bermahkluk, supaya tidak ada yang. Bhaksayamasa Garuda tau ubhau gaja kacchapau.
- Sang Garuda sampai di puncak gunung Gandhamadana, disanalah makan gajah dan penyu dengan senangnya. Sesudah makan ia terbang ke gunung Somaka sebuah guung di tanah Sangka, dimana amrta di sembunyikan. Selama perjalanan sang Garuda mencari amrta datanglah alamat di Kamdran. Senjata hyang Indra sekonyong-konyong bersiar dan menyala-nyala, baru jatuh dari angkasa, kemudian hujan darahpun turun, semua bungapun layu, teratai di telaga penuh dengan abu yang tertiup oleh angin keras. Demikianlah keadaan alamat, lalu bersembahlah begawan Wrhaspati kepada hyang Indra:
- "Daulat tuanku! hendaklah tuaku hati-hati atas pertanda ini, menurut pendapat hamba, ii meandakan akan adanya bahaya perang. Tidaklah ada sebab-musababnya, selain halnya tuaku dahulu terhadap begawan Walakiya. Ketika begawan Kesyapa melangsungkan korban, para dewa ikut mendatangi beserta dengan semadinya. Sampai saatnya semua membuat harta benda. Pada waktu itulah begawan Walakiya datang membawa tangkai daun Palasa, sebatang diangkat semua. Ada bekas kaki lembu penuh degan air. Disanalah ia jatuh kesakitan kena air. Tuanku melihat sambil tersenyum, sebab menghina, ia tahu kalau dihina, lalu membuat korban supaya memperoleh hasil terhadap Indra. Percayalah tuanku. Kurbannya tadi terlaksana, begawan Kesyapa datang, ia adalah teman karibnya.
- Ayam Indras tribhuwane niyogad Brahmana krtah. Daulat tuanku, sang Hyang Indra, perintah Batara Brahma dahulu kepada raja Tribhuana. Adapun korban tuanku sekarang, yang menghasilkan Indra, tidak semestinya di urungkan.
Menurut perintah Batara Brahma, hal itu tidaklah dapat diganti. Na mithya brahmono wakhyam. demikianlah hendaknya tuanku sekalian, janganlah mengurungkan perintah. Bhawatindras tu pathagah. Karena itu hasilnya Indra (raja) burung. - Demikian kata begawan Kesyapa kepada begawan Walakiya. Membenarkanya. Hasil korban tadi dua butir telur, lalu diberikan kepada sang Winata istrinya, telur menetas mejadi dua ekor burung, Khagotpattiti, yang tua bernama Aruna, menjadi sais sang Hyang Aditya. Yang muda yaitu sang Garuda, sekarang datang mencari Amrta. Adapun maksudnya aka dipergunakan menjadi penebus ibunya, besarlah kesaktiannya: Patangga Balakilyani tapasah phalayajnakah. Sebab kesaktian sang Garuda itu hasil tapa sang Walakiya. Itu di tuturkan oleh pertanda ini, janganlah tuanku lengah!"
- Demikianlah kata begawan Wrhaspati memerintah kepada gol2 dewa supaya menjaga amrta. Semua mempersiapkan senjata, menjaga gunung Somaka tempat amrta.
Sang Garuda datang di dahului oleh angin, kilat dan cahaya yang membuat mata menjadi buta, debu bergumpal-gumpal kena angin sayap sang Garuda. Semua arah tidak terihat, bagaikan tertutup awan. Para dewa segol menjadi gundah-gulana, demikian pula hyang Indra. - Sang hyang Bayu disuruhnya mengelak debu itu. Dengan hati-hati ia menyerang Wainateya (Garuda) gelap melebur. Sang Garuda kelihatan melayang di angkasa menuju tempat amrta. Ia dipanah oleh seluruh dewa, ditikam, di cakra, disenjata bermacam-macam senjata dilepaskan oleh golongan dewa. Semua tiada yan menenainya. Semua tumpul, patah tiada melukai sehelai bulupun. Sang Garuda membalas menyambuk golp dewa tertiup, terlempar, tunggang balik. Sang Sandhya 12, dewa anak sang hyang Brahma, dengan hati-hati ada disebelah timur raja burung yang akan mengambil amrta.
- Yang menjaga sebelah utara sang Asta Basu, delapan dewa dibantu oleh gandarwa, disebelah barat yang menjaga sebelas Rudra, semua lengka dengan segala macam senjata. Sedang disebelah utara yang menjaga sang Hyang Aditya 12 (Dwadasaditya), dipimpin oleh sang hyang Indra. Meskipun di kelilingi oleh golong dewa, tidak di anggap sukar oleh Garuda. Tiada terhalanglah raja burung itu, ia membalas dengan paruhnya yang sagat tajam. Dipatukya mata para dewa, dan itulah yang menyebabkan takutnya (dewa). Susrawa sonitam andhakah. Darahnya mengalir, mereka (melihat seperti) kegelapan, tidak melihat dunia lagi, tak tahu apa yang diperbuatnya. Para Dewa menderita kekalahan.
- Disekeliling amrta terdapat api yang selalu menyala, bersinar keseluruh angkasa. Sang Winateya tidak tahu akan jalannya, lalu meminum air samudra, habis kering tiada tersisa. Itulah yang dipergunakan sebagai pemadam api. Padamlah sudah, ia sampai di gua tempat amrta.
Pada pintu gua terdapat jantra cakra yang selalu berputar. Tiksnadharam ayasmayam, ujungnya dibuat dari besi, mengenai sasarannya dengan kejam. Setiap mahkluk yang masuk gua itu, menjadi terputus beribu-ribu (jika) terkena cakra tadi.
Hal tersebut tampak oleh Garuda. Badannya lalu diperkecil untuk dapat masuk diantara cakra tersebut. - Ia lalu masuk, bertemu dua ekor naga yang menjaga amrta. Adapun naga tadi, katanya Sada canimiseksanau. Siang malam tiada memejamkan mata, barang apa yang terlihat olehnya terbakar. Apicadiptalocanah karena selalu menyala. Sang Garuda datang, ular tadi terpaksa menutup matanya, tak dapat melihat perbuatan raja burung tersebut, disebabkan oleh debu yang keluar dari sayap sang Garuda. Kemudian naga itu di patuk dan dimakannya. Amrta yang di kamandalu diambilnya. Ketika melayang di angkasa, bhatara Wisnu datang, berseru kepadanya, katanya:
"Warado 'smiti' khecara" Sang Garuda! Kalau engkau meghendaki amrta, hendaklah meminta kepadaku, aku akan memberimu! - Demikianlah kata bhatara Wisnu, mejawab sang Garuda, katanya: "Tidak selayaknya engkau menganugrahi aku bhatara Wisnu, karena kesaktianmu kalah dengan kesaktianku. Karena amrta itulah engkau tiada mengenal tua dan mati. Tetapi aku: Ajarascamarasca syam Anidhi tiada mengenal tua dan mati. Amrtawina'py aham, meskipun tidak meminum amrta, demikianlah keadaanku, mintalah (yang lain) kepadaku supaya engkau ku anugrahi!
- Demikianlah kata sang Garuda, Bhatara Wisnu menyahut:
"Sang Garuda, katamu itu benar, tiada salahnya sedikitpun. Kasihanilah aku, tentunya engkau tiada berdusta. Engkau hendaklah menjadi kendaraanku, dan kiranya (mau juga) di terakan pada benderaku!" Demikian kata Bhatara Wisnu, sang Garuda memikir-mikirkan hal yan tidak akan maju, tapi takut akan ingkar janji. Akhirnya ia mau, karenanya lalu menjadi kendaraan bhatara Wisnu. Sekarang sang Garuda dan Bhatara Wisnu akan bersekutu. Sang hyang Indra menyembah sang Wainateya, sebab senjatanya tidak melukainya. Kata sang Garuda: - "Sangatlah kasihan aku akan senjatamu hyang Indra, tiada menjatuhan buluku sehelaipun. Inilah pemberian sayapku sebagai pemberianku padamu, anggaplah itu pemujaanku kepada rsi, patuh akan kesetiaan senjata itu, supaya tiada mendapat malu".
Demikian kata sang Garuda kepada sang hyang Indra, sayapnya lalu diberikan. Suresam patra__syami sayap itu bagus rupanya, oleh para dewa diberi nama sang Suparna, demikian keadaan sang Garuda, sang Hyang Indra tampil kemuka, minta supaya amrta itu jangan diberikan kepada para naga, karena mereka sangat menentang para dewa. Jawab sang Garuda:
"Hyang Indra! janganlah engkau kuatir tentang amrta itu buatlah sesuka hatimu, kalau sudah kuberikan pada para naga sebagai penebus ibuku, itulah gunanya". - Demikian kata sang Garuda, pergilah ketempat para naga, amrta tada ada dikamandalu, diberi tali daun alalang, lalu diberikan kepada para naga, katanya: Idam anitam amrtam. Hai engkau para naga semua, ini hasilku mengambil di kadewatan, hendaklah sebagai penebus ibuku, prawrtimanyatah, kalau mulai sekarang ibuku tidak menjadi budakmu, janganlah engaku mengganggu gugat. Tapi pesanku padamu: Snata manggala samyuktah. Caranya minum amrta tadi harusllah mandi terlebuh dahulu sebagai manggala (permulaan) itulah yang engkau perbuat!"
- Demikian pesan sang Garuda. Ia lalu pergi bersama sang Winata, ibunya kembali ke khayangan semula. Adapun para naga semua akan minum amrta, tiada yang mau ketinggalan seekorpun menjaga amrta. Mereka mandi bersama-sama bermanggala karena takut kalau-kalau tertinggal minumnya. Sesampainya di tempat lagi, amrta sudah di ambil oleh sang Hyang Indra, ketika para naga mandi membuat manggala.
- Para naga sedih tiada tahu apa yang akan diperbuatnya. Ada setitik amrta yang tertinggal dipuncak daun rumput (ilalang) dijilatnya oleh para naga, lidahnya tersayat oleh daun ilalang itu, oleh sebab itu sekarang dwijihwa lidahnya berbelah dua. Adapun alalang tersebut sampai sekarang menjadi suci, karena menurut ceritanya sudah kena amrta. Dan sang Garuda pulang ke surga, saya dengar (menjadi) sangat keramatnya, sesudah menebus ibunya.
Bersambung Bab VII
Jumat, 27 Maret 2015
ADIPARWA BAB VI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar